Hello Yayan…!
Sebuah pesan masuk ke dalam inbox saya di
LinkedIn, sebuah platform sosial media yang dirancang khusus untuk
menghubungkan para profesional karier dan bisnis. Dengan santun pria bule itu
meminta izin untuk terhubung dengan saya. Sudah barang tentu permintaan itu
membuat saya kaget. “Kok, bisa ya?”
Ya, karena saya sedang tidak mencari
pekerjaan atau mencari pegawai. Saya bergabung dengan LinkedIn karena suka membaca artikel-artikel atau kiat-kiat atau terkadang
berita-berita terbaru yang di-share para profesional yang saya ikuti di
LinkedIn. Cuma itu! Selebihnya tidak ada.
Tapi, tanpa pikir panjang saya pun menyetujui permintaan pertemanan itu. Klik!
Tak berselang lama ia mengirim pesan,”Hello Yayan…!” Terus terang saya agak kaget. ”Wow! Siapakah
dia gerangan?” Maklum, sebagai seorang single parent agak degdegan juga.
Hahaha…
Saya tentu berusaha menjawab dengan sopan dan hati-hati, laiknya kebanyakan
profesional yang bergabung di LinkedIn. Meski sedang tidak mencari pekerjaan,
toh pikir saya kebanyakan di aplikasi ini adalah para profesional di bidangnya.
Jadi saya pun tetap ’jaim’ alias menjaga baik image saya sebagai seorang
profesional.
Selanjutnya, kami berdua saling bertukar pesan. Yah, tidak selamanya
berjalan mulus dan cepat karena saya tidak selalu aktif membuka LinkedIn.
Well…! Sampai akhirnya si Mr. X ini kemudian meminta nomor Whatsapp saya. Lagi-lagi, entah karena merasa wah atau
bangga, atau bisa jadi saking noraknya, permintaan itu saya turuti.
Dan, sejurus kemudian si Mister X ini mengirimkan pesan ke saya disertai
foto profilnya di Linkedin, sembari say hello. Dari di kolom chat
di LinkedIn obrolan berpindah ke kolom chat di Whatsapp. Sepertihalnya
minum obat, setidaknya, sehari sekali ia mengirim pesan pada saya. Panjang
seperti menulis surat.
Menyenangkan membaca pesan-pesannya, “You
have been very friendly and very respectful to me ever since we became friends
and I so much I appreciate that. The only thing that gets me through the day is
the thought of making our friendship to last longer”.
Dan, perlahan tapi pasti, seperti yang
sudah kuduga, rayuan gombal itu pun berdatangan,“You are a good woman with a good heart. You are such a kind hearted
woman that ever since you came into my life, I have been smiling all day and
all night.” Wow! All day and all night? Meleleh gak sih? Hahaha
Tapi, akal dan hati saya bicara. Apa iya? Kenal aja belum. Walaupun kadang,
sebagai seorang yang single, saya terbawa perasaan juga. Berbekal mesin
penerjemah Google saya berupaya membalas semampunya. Maklumlah,
kemampuan bahasa Inggris saya pas-pasan, kalau bisa dibilang ala kadarnya.
Kami pun berbalas pesan di Whatsapp seperti orang minum obat: 1 kali
sehari, 1 pesan. Meski cuma sebiji tapi isinya seperti surat berlembar-lembar
khas orang kasmaran jaman belum ada smartphone atau email.
Isinya, gak jauh-jauh membahas perasaannya pada saya. Aku padamu… Haha
Meski kedengarannya aneh, seperti burung dicokok hidungnya, saya pun manut
saja membalas pesan-pesannya via WA. Bahkan, saya sempat melakukan konsultasi
dengan beberapa teman saya yang pernah berhubungan dengan pria bule. Salah
satunya bahkan akan menikah tahun depan di Belanda.
Boleh jadi karena usia dan terbiasa memikirkan urusan rumah tangga seorang
diri, saya pun tetap memilih memakai otak ketimbang hati. Rasa curiga terus
saya pupuk sembari mencaritahu mengenai penipuan berkedok asmara. Dan, viola!, akhirnya
ketemu dengan banyak artikel tentang Romance Scammer.
Sembari dipantau teman-teman saya tadi, bak detektif, sambil membalas
pesan-pesan Mr.X ini, saya mulai merunut ke arah manakah kira-kira obrolan ini
akan bermuara? Tanpa disengaja, saya menemukan kesamaan foto yang di kirim via Whatsapp
olehnya di salah satu applikasi tetapi dengan nama yang lain.
Apalagi, belum-belum Mr. X sudah mulai ngegas bahwa dia akan
investasi di Indonesia di bidang properti. Di awal-awal perkenalan dia sekali pernah menyebut
nama Indonesia, selebihnya dia bilang,”in
your country.” Saya pun mulai terbuka hati dan pikiran.
”Hmm…Tahu gak sih dia kalau saya ini tinggal di mana? Tahukah gak sih
Indonesia itu di mana?” kata saya dalam hati. Lalu saya pun ganti membalas
semua pesannya dengan gombalan yang ternyata membuat dia makin ngegas
ibarat sebuah mobil yang naik di tanjakan terjal.
Akhirnya, tanpa berlama-lama, saya putuskan untuk menyudahi obrolan ngalor
ngidul tanpa arah yang pasti ini. ”Sorry,
I can't help. My capacity doesn't end there,” kata saya
kepadanya. “By the way, you can search the internet
about property investment in Indonesia. Like I can find your photo here. https://cava.fr/Julieen?lang=Russian.”
Sebagai penutup pesan saya sampaikan, “So.... what should I call you? Mr. Dylan or Mr. Julieen?” Ibarat main catur, skak! Walaupun saya lihat di status pesan centang
berwarna biru alias dibaca, tapi tak pernah sekalipun dia membalas. Bahkan, dia
sudah memutus hubungan sepihak di LinkedIn. Alhamdulillah, ini sebuah
pengalaman berarti.